Sabtu, 14 Desember 2013

Three Jambans

"Hye Mi! Rae Yoo! Jangan hanya mengobrol disana! Cepat bantu aku mengangkat kursi-kursi ini!"

Aku tidak tahu akan begini jadinya jika aku bertemu dengan mereka. Gila. Mungkin kata itu dapat mendeskripsikan apa yang terjadi pada otak dan sel-sel dalam tubuhku setelah aku menemukan spesies seperti mereka.

Hah. Aku serius. Rae Yoo. Dia...tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dia adalah kloningan tubuhku. Aku dan dia sejalan, searah, setujuan. Apalagi yang kurang? Jadi wajar saja jika kami bisa menyatu. Hidup benar-benar terasa lucu saat aku bersamanya. Bahkan "ritual" menaiki tangga sekolah saja bisa kami tertawakan.

Beda lagi jika kau melihatku berjalan bersama Hye Mi. Entah kenapa aku sedikit merasa takut bila berjalan berdampingan dengannya. Aku pernah berpikir, apakah dia itu lesbian? Kenapa ia bisa dengan mudahnya mencubit, memeluk, dan melakukan hal yang wajarnya orang lakukan pada lawan jenis malah ia praktekkan kepada sesama jenis? Itu aneh.

Namun, hipotesisku kemudian terpatahkan karena baru-baru ini aku tahu bahwa ia ternyata sudah memiliki pacar. Seorang lelaki tentunya. Pacarnya adalah buyutku. Tidak, dia bukan kakek dari kakekku yang sebenarnya. Itu hanya julukan. Karena dia memanggilku nenek.

Jujur saja, padahal dia yang lebih tua dariku kenapa harus aku yang dipanggil nenek? Maka aku memanggilnya buyut. Impas bukan? Oke, orang-orang memanggilnya Eun Ho. Hye Mi-Eun Ho. Eun Ho-Hye Mi. Aku rasa mereka memang cocok. Mereka berdua bisa tertawa terbahak-bahak bahkan sampai berguling di tanah karena lelucon yang mereka buat. Sedangkan aku hanya bisa memasang ekspresi seperti ini :
Tapi ketika tiba saatnya aku yang sakit perut akibat candaan orang lain, mereka malah memandangku dengan tatapan seperti ini :
dan Rae Yoo akan mengeluarkan wajah seperti ini :

"Tidak, tidak. Kau seharusnya menggambar wajahku seper-" itu Hye Mi.
"HEI! APA MAKSUDMU DENG-" itu Rae Yoo.
"Nenek~~~~~" Err..kau bisa menebak itu siapa.

Tapi bila aku tak bertemu dengan mereka maka aku hanya akan menjalani hariku layaknya orang normal. Bangun, sekolah, pulang, tidur, kemudian bangun lagi. Itu membosankan jujur saja. Jadi, sebaiknya aku bersyukur bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar